Cara Memilih Pasangan Hidup
Menentukan Kriteria
Dalam
menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan 2 sisi yg perlu
diperhatikan. Pertama, sisi yg terkait dgn agama, nasab, harta
maupun kecantikan. Kedua, sisi lain yg lbh terkait dgn selera pribadi,
seperti masalah suku, status sosial, corak pemikiran, kepribadian, serta
hal-hal yg terkait dgn masalah fisik termasuk masalah kesehatan &
seterusnya.
- Masalah yg pertama adl masalah yg terkait dgn standar umum.Yaitu masalah agama, keturunan & kecantikan. Masalah ini sesuai dgn hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya yg cukup قَالَ تُنْكَحُr عَنِ النَّبِيِّ tmasyhur.عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ اَلْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ اَلدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,`Wanita itu dinikahi karena 4 hal : karena
agamanya, nasabnya, hartanya & kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya
kamu akan selamat (Hadis Riwayat: Bukhari, Muslim)
Khusus masalah agama, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam memang memberikan penekanan yg lebih, sebab memilih wanita yg sisi keagamaannya sudah matang
jauh lbh menguntungkan ketimbang istri yg kemampuan agamanya masih
setengah-setengah. Sebab dgn kondisi yg masih setengah-setengah itu, berarti
suami masih harus bekerja ekstra keras utk mendidiknya. Itupun kalau suami
punya kemampuan agama yg lebih. Tetapi kalau kemampuannya pas-pasan, maka mau
tdk mau suami harus `menyekolahkan` kembali istrinya agar memiliki kemampuan
dari sisi agama yg baik.
- Aqidahnya kuat
- Ibadahnya rajin
- Akhlaqnya mulia
- Pakaiannya & dandanannya memenuhi standar busana muslimah
- Menjaga kohormatan dirinya dgn tdk bercampur baur & ikhtilath dgn lawan jenis yg bukan mahram
- Pemahaman syariahnya tdk terbata-bataBerhusnuzhan kpd orang lain, ramah & simpatik
- Tidak bepergian tanpa mahram atau pulang larut
- Fasih membaca Al-Quran Al-Kariem
- Ilmu pengetahuan agamanya mendalam
- Aktifitas hariannya mencerminkan wanita shalilhah
- Berbakti kpd orang tuanya serta rukun dgn saudaranya
- Pandai menjaga lisannya
- Pandai mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah yg diberikan kepadanya
- Selalu menjaga diri dari dosa-dosa meskipun kecil
Sedangkan dari sisi nasab atau keturunan, merupakan
anjuran bagi seorang muslim utk memilih wanita yg berasal dari keluarga yg taat
beragama, baik status
sosialnya & terpandang di tengah masyarakat. Dengan mendapatkan istri dari
nasab yg baik itu, diharapkan nantinya akan lahir keturunan yg baik pula. Sebab
mendapatkan keturunan yg baik itu memang bagian dari perintah agama, seperti yg
Allah Subhanahu wa ta’ala firmankan di dalam Al-Quran Al-Kariem.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ
ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ
قَوْلاً سَدِيدًا
Dan hendaklah takut kpd Allah orang-orang yg
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yg lemah, yg mereka
khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kpd Allah
& hendaklah mereka mengucapkan perkataan yg benar. (Al Qur’an Surat: An-Nisa : 9)
Sebaliknya, bila istri berasal dari keturunan yg
kurang baik nasab keluarga, seperti kalangan penjahat, pemabuk, atau keluarga
yg pecah berantakan, maka semua itu sedikit byk akan berpengaruh kpd jiwa &
kepribadian istri. Padahal nantinya peranan istri adl menjadi pendidik bagi
anak. Apa yg dirasakan oleh seorang ibu pastilah akan langsung tercetak begitu
saja kpd anak.
Pertimbangan memilih istri dari keturunan yg baik ini
bukan berarti menjatuhkan vonis utk mengharamkan menikah dgn wanita yg
kebetulan keluarganya kurang baik. Sebab bukan hal yg mustahil bahwa sebuah
keluarga akan kembali ke jalan Islam yg terang & baik. Namun masalahnya adl
pd seberapa jauh keburukan nasab keluarga itu akan berpengaruh kpd calon istri.
Selain itu juga pd status kurangbaik yg akan tetap disandang terus ditengah masyarakat yg pd kasus tertentu sulit
dihilangkan begitu saja. Tidak jarang butuh waktu yg lama utk menghilangkan cap
yg terlanjur diberikan masyarakat.
Maka bila masih ada pilihan lain yg lbh baik dari sisi
keturunan, seseorang berhak utk memilih istri yg secara garis keturunan lbh
baik nasabnya.
- Masalah Yang Kedua Masalah kedua terkait dgn selera subjektif seseorang terhadap calon pasanan hidupnya.Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yg wajib diperhatikan, namun Islam memberikan hak kpd seseorang utk memilih pasangan hidup berdasarkan subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga & lingkungannya.Intinya, meski pun dari sisi yg pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari sisi yg kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adl hal yg tdk bisa disepelekan begitu saja. Karena terkait dgn hak setiap individu & hubungannya dgn orang lain.
Sebagai contoh adl kecenderungan dasar yg ada pd tiap masyarakat utk menikah dgn orang yg sama
sukunya atau sama rasnya. Kecenderungan ini tdk ada kaitannya dgn masalah
fanatisme darah & warna kulit, melainkan sudah menjadi bagian dari
kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan Islam bisa menerima kecenderungan
ini meski tdk juga menghidup-hidupkannya.
Sebab bila sebuah rumah tangga didirikan dari 2 orang
yg berangkat dari latar belakang budaya yg berbeda, meski masih seagama, tetap
saja akan timbul hal-hal yg secara watak & karakter sulit dihilangkan.
Contoh lainnya adl selera seseorang utk mendapatkan
pasangan yg punya karakter & sifat tertentu. Ini merupakan keinginan yg
wajar & patut dihargai. Misalnya seorang wanita menginginkan punya suami yg
lembut atau yg macho, merupakan bagian dari selera seseorang. Atau sebaliknya,
seorang laki-laki menginginkan punya istri yg bertipe wanita pekerja atau yg
tipe ibu rumah tangga. Ini juga merupakan selera masing-masing orang yg menjadi
haknya dalam memilih.
Islam memberikan hak ini sepenuhnya & dalam batas
yg wajar & manusiawi memang merupakan sebuah realitas yg tdk terhindarkan.
Melihat Langsung Calon Yang Terpilih
Seorang muslim apabila berkehendak utk menikah
& mengarahkan niatnya utk meminang seorang perempuan tertentu,
diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum ia mulai melangkah ke jenjang
perkawinan, supaya dia dpt menghadapi perkawinannya itu dgn jelas & terang,
& supaya tdk tertipu. Sehingga dgn demikian, dia akan dpt selamat dari
berbuat salah & jatuh ke dalam sesuatu yg tdk diinginkan.
Ini adl
justru karena mata merupakan duta hati & kemungkinan besar bertemunya mata
dgn mata itu menjadi sebab dpt bertemunya hati & berlarutnya jiwa.
Dari Abu
Hurairah ra berkata `Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba
ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dgn seorang perempuan
dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum!
Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah & lihatlah dia, karena dalam mata
orang-orang Anshar itu ada sesuatu.` (Riwayat Muslim)
Dari
Mughirah bin Syu`bah bahwa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya:`Lihatlah dia! Karena
melihat itu lbh dpt menjamin utk mengekalkan kamu berdua.` Kemudian Mughirah
pergi kpd 2 orang tua perempuan tersebut, & memberitahukan apa yg
diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tdk suka. Si
perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau
Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya
lantas melihatnya & kemudian mengawininya. (Hadis Riwayat: Ahmad, Ibnu
Majah, Tarmizi & ad-Darimi).
Dalam hadis
ini Rasulullah tdk menentukan batas ukuran yg boleh dilihat, baik kpd Mughirah
maupun kpd lain-lainnya. Justru itu sebagian ulama ada yg berpendapat: yg boleh
dilihat yaitu muka & 2 tapak tangan, tetapi muka & 2 tapak tangan yg
boleh dilihat itu tdk ada syahwat pd waktu tdk bermaksud meminang. Dan selama
peminangan itu dikecualikan, maka sudah seharusnya si laki-laki tersebut boleh
melihat lbh byk dari hal-hal yg biasa. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda dalam salah satu hadisnya sbg berikut:
قَالَ : قَالَtعَنْ جَابِرٍ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ فَإِنْrرَسُولُ اَللَّهِ
اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا
فَلْيَفْعَلْ - رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ
Apabila
salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia
dpt melihat sebahagian apa yg kiranya dpt menarik utk mengawininya, maka
kerjakanlah. (HR Ahmad & Abu Daud)
tعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجَ اِمْرَأَةً :
أَنَظَرْتَrأَنَّ اَلنَّبِيَّ
إِلَيْهَا ؟ قَالَ : لا . قَالَ : اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا
Dari Abu
Hurairah RA bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kpd seseorang yg
hendak menikahi wanita,”Apakah kamu sudah pernah melihatnya?”. “Belum”,
jawabnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Pergilah melihatnya
dahulu”. (Hadis Riwayat: Muslim)
Batasan Dalam Melihat
Seorang
laki-laki boleh melihat perempuan yg hendak dipinang dgn berpakaian yg boleh
dilihat oleh ayah & mahram-mahramnya yg lain.
Selanjutnya
mereka berkata: bahwa si laki-laki itu boleh pergi bersama wanita tersebut dgn
syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahramnya dgn pakaian menurut
ukuran syara` ke tempat yg boleh dikunjungi utk mengetahui kecerdikannya,
perasaannya & kepribadiannya. Semua ini termasuk kata
sebagian yg disebut dalam hadis Nabi di atas yg mengatakan: `… kemudian dia
dpt melihat sebagian apa yg kiranya dpt menarik dia utk mengawininya.`
Dibolehkan
juga si laki-laki melihat perempuan dgn sepengetahuan keluarganya; atau sama
sekali tdk sepengetahuan dia atau keluarganya, selama melihatnya itu bertujuan
utk meminang. Seperti apa yg dikatakan Jabir bin Abdullah tentang isterinya:
`Saya bersembunyi di balik pohon utk melihat dia.`
Bahkan dari
hadis Mughirah di atas kita tahu, bahwa seorang ayah tdk boleh
menghalang-halangi anak gadisnya utk dilihat oleh orang yg berminat hendak
meminang dgn dalih tradisi. Sebab yg harus diikuti ialah tradisi agama,
bukan agama harus mengikuti tradisi manusia.
Namun di
balik itu, seorang ayah & laki-laki yg hendak meminang maupun perempuan yg
hendak dipinang, tdk diperkenankan memperluas mahramnya, seperti yg biasa
dilakukan oleh penggemar-penggemar kebudayaan Barat & tradisi-tradisi
Barat. Ekstrimis kanan maupun kiri adl sesuatu hal yg amat ditentang oleh jiwa
Islam.
Oleh: H.
Ahmad Sarwat, Lc
0 komentar:
Posting Komentar